Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 2
Upasaka
Chen juga seperti kita pada umumnya adalah orang awam, hanya saja dia orangnya
baik dan ramah, kehidupannya teratur, memperlakukan
orang lain dengan tulus, tak peduli terhadap orang lain maupun keluarganya
tidak pernah murka dan berkata kasar. Hanya saja kemudian dia memiliki hobi
makan seafood dan kepiting; ada orang yang melihat bentuk tumor di punggung
belakangnya dan berkata : “Seperti kepiting, ada kakinya lagi”. Dia sama dengan
orang awam lainnya, selalu merisaukan jika dirinya tidak cukup gizi, maka itu
tidak sudi melepaskan makanan daging. Ketika sel kanker limfoma menekan
saraf-saraf di pembuluh darah tangan kanannya, dia kesakitan sampai mati rasa,
dia seperti anak-anak mengatakan kepadaku, tangannya sakit dan kaku, sulit
untuk bergerak.
Saya
berkata padanya : “Sekarang anda baru menyadari betapa menderitanya jika tangan
kesakitan. Coba renungkan kembali, ketika kita makan kepiting, apakah kita
pernah memikirkan penderitaannya, saat kakinya diikat, kemudian kita mencabut
tangan dan kakinya, sesungguhnya dia amat menderita, apakah kita mengetahui dia
sedang menangis? Kita harus belajar dari penderitaan ini, kemudian
membangkitkan maha maitri maha karuna, semoga semua makhluk, janganlah karena
nafsu makan saya sehingga harus menderita dan kesakitan. Semoga kita dapat
serupa dengan Buddha, mencabut penderitaan semua makhluk”. Mendengar ucapanku,
airmatanya berlinang kemudian dia menganggukkan kepalanya.
Kemudian
dia berkata lagi padaku : “Sewaktu dirawat di rumah sakit, suatu hari di tengah
malam, hujan amat deras, dia mendengar ada suara yang ingin menangkapnya,
sehingga dia amat menderita dan tidak dapat tidur, untunglah ikan yang pernah
saya lepas datang menolongku”. Setelah dia meninggal dunia, kami menemukan buku
hariannya di rumah sakit yang salah satu kalimatnya tertulis : “Semua makhluk
memiliki saling keterkaitan, bila anda melindunginya, maka dia juga akan datang
menolong dirimu, maka itu melepaskan satwa ke alam bebas itu amat penting,
setelah keluar dari rumah sakit, saya akan melepaskan satwa lagi”.
Banyak insan yang telah melafal Amituofo untuk kurun waktu yang
lama, namun tidak memiliki keyakinan untuk terlahir ke Alam Sukhavati, selalu
merisaukan apakah dirinya sendiri akan berhasil terlahir atau tidak, selalu
merasa ragu, tidak percaya bahwa diri sendiri memiliki Jiwa KeBuddhaan, tidak
sudi memastikan bahwa Buddha Amitabha yang maha maitri maha karuna tentu takkan
mengabaikan diriku. Banyak orang yang akan terpikir : “Saya memiliki banyak
kelemahan, tidak serius melatih diri, melatih Amituofo juga jarang, tidak
seperti guru sesepuh yang sehari melafal 80 ribu atau 100 ribu lafalan. Saya
takut sakit, menjelang ajal apakah akan kesakitan? Apakah saya akan koma? Yang
pasti banyak sekali hal yang dirisaukannya.
Pandangan kita selalu dijatuhkan ke dalam pandangan orang awam,
yang berpihak pada rintangan karma, maka itu merasa tidak mungkin bisa berhasil
terlahir ke Negeri Buddha; kita selalu menempatkan koin di depan pupil mata
kita, sehingga cukup untuk menutupi cahaya mentari yang menyinari seluruh
dunia. Andaikata kita sudi mengarahkan pandangan kita ke mentari yang terang,
angkasa yang luas, sehingga walaupun seribu bahkan sepuluh ribu koin juga tidak
dapat menutupi cahaya mentari, juga tidak dapat menghasilkan halangan apapun.
Kita selalu menggunakan penutup untuk melihat mentari, demikian juga
menggunakan rintangan karma untuk melihat Cahaya Buddha. Keyakinan, tekad dan
pengamalan hanyalah sebuah niat pikiran dan perputaran saja. Namun jika kita
tidak berhasil memutarnya, sanak keluarga dan teman-teman kita juga dapat membantunya, sehingga kita dapat
beralih dari kesakitan dan kemelekatan menjadi dituntun Cahaya Buddha.
Upasaka Chen Jin-chi memiliki
tubuh tinggi dan kuat, sedangkan istrinya, sejak dia jatuh sakit, harus
menjaganya, terutama saat dia menjalani radioterapi dan kemoterapi, sungguh
sibuk dan lelah, menjadi kurus dan kecil. Wanita yang kurus dan kecil ini telah
memerankan sebuah peranan yang mulia; dia selalu menjaga suaminya dengan tegar
dan tabah. Segala jenis obat dan makanan
bergizi dimasaknya sendiri, sehingga suaminya walaupun harus menjalani radioterapi
dan kemoterapi serta kurang selera makan, namun berat badannya masih bisa
bertambah 2 kg. Ketika mereka berdua muncul di klinik, suster akan mencari
Nyonya Chen agar sudi disuntik, karena dia kurusnya sudah seperti orang sakit,
sedangkan suaminya malah dirawatnya sampai tampak begitu kuat.
Sampai saat menjelang ajal, wajah Upasaka Chen tetap berwibawa, merah
merekah tidak berubah. Nyonya Chen terus memberikan ketenangan kepada suaminya,
sedangkan dia sendiri hanya dapat menyerahkan kerisauannya kepada Buddha
Amitabha dengan berlinangan airmata, bagi orang awam betapa sulitnya menjalani
tahapan hidup ini, dia hanya dapat bersujud di hadapan Buddha, memohon bantuan
dari Buddha. Asalkan tulus pasti akan berhasil!
Dapat dikatakan bahwa setiap Bhiksu, sahabat sedharma, begitu mendengar
ketulusannya, pasti akan datang saling bergandengan tangan dengannya,
menemaninya melewati jalan yang berliku-liku ini. Dari sini kita dapat
mempelajari satu hal, bahwa dalam ketulusan dan penghormatan, yang lemah
sekalipun akan menjadi kuat, jika tiada yang datang mengulurkan tangan maka
Buddha sendiri yang akan datang menolong!
Ketika seseorang telah mengerti akan jalan kehidupan dan kematian, saat
kekuatan seorang manusia awam terasa begitu lemah, rendahkanlah hati memohon
perlindungan dari Buddha, saat ini rasa rendah hati dan kelembutan hati muncul,
barulah dapat berlindung dengan sesungguhnya pada Buddha, mengandalkanNya,
barulah dapat menyandarkan diri ke dalam pelukan Buddha, terjalin dengan Buddha
tanpa ada halangan lagi. Ketika “keakuan” yang begitu sulit ditaklukan menjadi
begitu lemah, mengalahlah, pintu Jalan KeBuddhaan telah terbuka lebar. Seseorang
yang dengan rendah hati berdoa pada Buddha, sesungguhnya sedang membangkitkan
kebajikan di dalam hatinya. Kekuatan dari ketulusan doa ini tak terhingga dan
tak terbayangkan, sehingga para Buddha dan Bodhisattva serta siapa saja juga
tidak sanggup menolaknya.
Dikutip dari : Ceramah
Master Dao Zheng
Judul : Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Sumber : 笑著進入七寶池