Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 3
Saya telah pernah memeriksa banyak pasien, walaupun setiap insan berharap
dapat terlahir ke Alam Sukhavati, namun ketika diserang penyakit, tetap saja
tidak dapat menghindari perasaan takut. Ketika jatuh sakit, tubuh melemah,
ketika penyakit bertambah parah, tentu tak luput dari kesulitan untuk bersabar
menahan penderitaan, ini merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan oleh orang
awam yang masih memiliki kemelekatan pada tubuh jasmani; mungkin saja ketika
anda dan saya bertemu dengan kondisi ini, juga akan sedemikian, kemelekatan
pada jalinan kasih sayang.
Terkadang pihak keluarga bersikap tergesa-gesa akan kesembuhannya
atau sebaliknya, terkadang juga akan memberikan mimik muka yang kurang menyenangkan
padanya, ini akan menambah penderitaannya, menambah kemelekatannya pada tubuh
jasmani. Namun jika pihak keluarga begitu kabur pada penderitaan pasien, hanya
menyuruhnya melepaskan rasa sakitnya, melafal Amituofo dan bertekad lahir ke
Alam Sukhavati, ini hanya akan menambah penderitaan pasien yang tak terkatakan,
juga tidak ada yang dapat memahami dan merasakan penderitaan yang dialaminya, sehingga
dia akan makin menolak untuk melafal Amituofo. Pihak keluarga jika tidak
menunjukkan kepedulian dan perhatian serta ketulusan dan welas asih, maka
pasien akan merasa “kalian tidak menghendaki saya lagi, saya sudah sakit
kelamaan, kalian telah merasa jenuh, berharap agar saya cepat mati”. Perasaan
ini akan menambah penyesalan dan kebenciannya. Kebencian ini lebih sulit
dilepaskan daripada kemelekatan pada sanak keluarganya. Banyak pihak keluarga
praktisi Ajaran Sukhavati yang pada awalnya bermaksud ingin membantu si pasien
agar dapat terlahir ke Alam Sukhavati, namun karena terlalu memaksa si pasien
agar menfokuskan diri melafal Amituofo dan melepaskan segala kemelekatan,
akhirnya menimbulkan kesalahpahaman pada si pasien, yang menganggap diri si
pasien adalah arahat yang sudah kebal akan kesakitan.
Dikarenakan pihak keluarga yang tidak mau mengerti akan “kesakitan
dan penderitaan” yang sedang dialami pasien, tidak mau membandingkan si pasien
sebagai dirinya sendiri, sehingga dapat membantunya untuk mengurangi
penderitaannya, maka itu pasien merasa “keluarganya yang sudah belajar Buddha
Dharma”, namun tidak mampu dengan bermaitri karuna peduli dan memberi perhatian
pada dirinya; bila sudah demikian maka si pasien akan sulit dengan hati yang
berterimakasih dan bersukacita melafal Amituofo, juga akan lebih sulit lagi
memahami maitri karuna Buddha Amitabha.
Maka itu, untuk membantu pasien melafal Amituofo, tidak bisa hanya
bersikap kaku dan dingin dalam memberi nasehat dan anjuran, dia malah takkan mau
menerimanya dan menentang. Si pasien akan berpikir :”Yang menderita itu bukan
kamu, barulah kamu bisa saja omong seenaknya, huh! Andaikata tiba giliranmu nanti, lihat
saja apakah kamu bisa melepaskan lalu melafal Amituofo!”. Bahkan ada pasien
yang sampai terpikir :”Kalian para praktisi Ajaran Buddha begitu dingin tidak
memperhatikan penderitaanku, saya takkan mau belajar Ajaran Buddha dan juga tak
sudi melafal Amituofo!” Begitu si pasien memiliki niat menentang, maka dia
sangat sulit menerima bantuan dari mereka yang bermaksud menasehatinya; poin
ini harap diperhatikan oleh pihak keluarga pasien.
“Ucapan” akan lebih berkhasiat daripada
obat, poin ini harus diperhatikan dengan lebih seksama oleh kita semuanya.
Sepatah kata baik akan menghangatkan musim dingin, sama halnya pula sepatah
kata dingin akan membekukan musim panas. Sepatah kata dingin atau kasar mungkin
akan membuat pendengarnya selama 10 tahun juga takkan bisa melupakan kebencian
ini. Kita dapat mengamatinya dengan seksama, Buddha memiliki kemampuan tanpa
batas, namun manusia lebih suka memuja Buddha dengan kalimat “maha maitri maha
karuna” Buddha Amitabha, “maha maitri maha karuna” Bodhisattva Avalokitesvara,
tidak ada yang memuja dengan menyebut “maha bijaksana” atau “maha kekuatan”
Buddha Amitabha. Karena kita memerlukan maha maitri maha karuna Buddha, karena
betapa sulitnya melalui sebuah kesulitan besar, sungguh kita mengharapkan
uluran tanganNya untuk membawa kita keluar dari penderitaan menuju kebahagiaan,
ini adalah harapan semua makhluk.
Bila Buddha hanya memiliki
kebijaksanaan, namun tidak memiliki maitri karuna, maka Buddha takkan memiliki
sedikitpun hubungan dengan para makhluk, ini merupakan hal yang harus kita
pahami. Takkan ada Buddha yang mengabaikan penderitaan para makhluk. Ketika
kita akan mencapai KeBuddhaan, haruslah terlebih dahulu dengan maha maitri maha
karuna memberi manfaat kepada para
makhluk; karena semua makhluk dengan Buddha adalah satu. Kemudian dalam
membantu para pasien, terutama saat membantu mereka melafal Amituofo, juga
sedemikian. Maitri karuna merupakan kebijaksanaan yang paling mendalam, barulah
bisa paham bagaimana seharusnya mencabut penderitaan dan memberikan
kebahagiaan, sehingga setiap saat dapat membantu para makhluk, menwujudkan
maitri karuna.
Ketika Nyonya Chen bertanya padaku : “Bagaimana
cara membantu suamiku”, saya hanya menjelaskan apa yang telah kita bahas
sebelumnya. Dia bertanya lagi apa yang harus dilakukannya? Dia amat merisaukan jika
dirinya belum berbuat dengan baik, tidak dapat memberikan dukungan terbesar
buat suaminya. (Yang dimaksud dengan dukungan adalah semasa hidup si pasien,
kita berusaha dengan segenap tenaga memberikannya ketenangan dan kedamaian;
saat ajalnya tiba, dapat membantunya mengikuti Buddha Amitabha terlahir ke Alam
Sukhavati).
Kemudian saya memberinya anjuran : “Anda
harus mempunyai tekad, memastikan anda adalah utusan Buddha Amitabha yang
khusus datang untuk membantunya mencapai KeBuddhaan, anda pasti akan
melakukannya dengan baik; anda dapat senantiasa berdoa dalam hati, memohon
bimbingan dari Buddha, agar kamu dapat memahami bagaimana seharusnya agar dapat
berbuat dengan sebaiknya. Ketika dia mengeluh kesakitan, maka yang paling baik
anda lakukan adalah mendampinginya melafal Amituofo dan berdoa, anda harus
bersujud dengan setulusnya beranjali dan
melafal keluar nama Buddha dari dalam sanubari anda yang paling tulus, agar pasien
juga turut mendengarnya. Doa dapat berupa : “Murid istri Chen Jin-chi memohon
pada Buddha Amitabha untuk membantu suamiku agar penderitaannya dapat reda,
bebas dari segala kerisauan, jiwa raganya damai, dapat dengan hati yang tenang
melafal Amituofo…….”
Di
dalam penderitaannya, asalkan dapat mendengar bahwa Buddha Amitabha akan datang
menyelamatkannya, maka lama kelamaan bagaikan semerbak harum dupa yang juga
mengenai insan yang menyalakannya, maka di dalam dirinya akan timbul keyakinan
bahwa Buddha Amitabha akan datang menyelamatkannya, sebersit niat pikiran ini
akan membawanya keluar dari penderitaan dan terjalin dengan Buddha. Niat
pikiran pihak keluarga begitu pentingnya karena dapat mengantar si pasien meninggalkan dunia saha yang begitu
menderita ke dalam pelukan Buddha yang begitu bahagia tanpa batas”.
Yang membuatku salut adalah Nyonya Chen
begitu setia mengamalkannya bahkan dia telah berhasil melakukannya.
Dikutip dari : Ceramah
Master Dao Zheng
Judul : Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Sumber : 笑著進入七寶池