Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 4
Nyonya Chen memiliki sepatah kata yang bagus, yang dapat
memotivasi pasien yang telah putus asa; dia berkata : “Oleh karena saya terlalu
mencintai suamiku, tidak tega melihatnya menderita, maka itu saya menyerahkan
hatiku yang mencintainya ini kepada Buddha Amitabha, agar dia jangan menderita
lagi, mencapai KeBuddhaan dan menyelamatkan semua makhluk”. Betapa baiknya niat
hatinya ini, betapa patut dirinya itu dipuji karena telah mengubah cinta
individunya menjadi maha karuna Buddha; dari cinta individu maupun jalinan
kasih antar keluarga, ditingkatkan menjadi jalinan keluarga Bodhi yang
melangkah di Jalan KeBuddhaan.
Dia merupakan istri yang berbudi luhur, mendampingi suaminya melewati
jalanan berliku-liku, sampai pada saat menjelang ajal dan membantunya melafal
Amituofo, walaupun lelah sekalipun dia juga tidak berani beristirahat, tubuhnya
kurus sampai hanya tersisa 30 kg lebih. Wanita kurus dan lemah ini telah menwujudkan
semangat Bodhisattva, mengantar suaminya mengakhiri penderitaan dan memperoleh
kebahagiaan buat selama-lamanya, dengan senyum dan lambaian tangan pergi ke
Alam Sukhavati, menanti kedatangan sang istri, keluarga dan seluruh makhluk di
Alam Sukhavati.
Dan akhir yang menyenangkan dari kisah ini, diantaranya tidaklah
semulus yang kita bayangkan, namun juga penuh dengan liku-liku. Karena hati
orang awam tidaklah kekal, ketika “kekuatan kesabaran” belum sempurna,
terkadang juga akan mengalami kemunduran. Ketika pasien karena penderitaan
sakitnya dan keyakinannya jadi goyah, tidak dapat meneruskan melafal Amituofo
lagi, maka peranan orang-orang di sekitarnya amat penting, haruslah dengan
maitri karuna dan kelembutan untuk mengerti akan penderitaannya, agar pasien
tahu bahwa mereka merasakan apa yang dideritanya, kemudian baru memotivasinya
agar membangkitkan kembali keyakinannya; jangan malah sebaliknya menyalahkan
diri si pasien dan merasa kecewa pada dirinya, serta mengabaikannya.
Orang-orang yang berada di sekelilingnya, harus membandingkan
dirinya dengan si pasien, andaikata saya juga berada dalam kondisi yang sama
dengannya, saya akan bagaimana? Apakah keyakinanku juga takkan berubah,
kemudian senantiasa tersenyum? Andaikata kita saja tidak bisa, maka ketika
keyakinan pasien goyah, kita harus memakluminya, ini merupakan kesempatan bagi
kita untuk memupuk berkah dan kebijaksanaan.
Nyonya Chen begitu telaten menwujudkan hal ini, dia menggunakan
hatinya untuk memaklumi bahkan juga mewakili suaminya untuk melakukan
pertobatan. Kekuatan dari ketulusan sungguh tak terbayangkan, bertobat dan
memohon perlindungan dari Buddha juga merupakan kekuatan yang tak terbayangkan.
Ketika kita diperlakukan dengan tidak adil dan tidak menyenangkan, janganlah
bersedih, gunakanlah ketulusan hati untuk bertobat, memohon bimbingan dari
Buddha, ketahuilah kita tidak kurang sesuatu apapun dari Buddha, kita hanya
kelebihan sedikit benda kotor yakni “lobha, dosa, moha, keangkuhan dan
kecurigaan”. Bila kita sudi membersihkannya maka Jiwa KeBuddhaan yang cemerlang
akan muncul keluar.
Pada tahun 85 musim dingin, karena sel kankernya telah menyerang
ke bagian otak sehingga dia sulit bersuara, lengan tangannya mati rasa. Selama
ini dia begitu sehat, tiba-tiba divonis kanker, membuatnya amat menderita dan
risau, karena emosinya labil maka sulit untuk menfokuskan diri melafal
Amituofo. Dalam hatinya menyalahkan Buddha dan Bodhisattva yang tidak membuat
pengaturan yang baik buat dirinya, begitu emosi tasbih pun langsung dilepaskannya.
Sedangkan Buddha dan Bodhisattva begitu bermaitri karuna, selalu
tidak tega melihat penderitaan para makhluk, terhadap para makhluk senantiasa
memiliki hati bagaikan ayahbunda yang merisaukan anak-anaknya, walaupun
penderitaan para makhluk yang dikarenakan perbuatannya di masa kelahiran
lampau; namun masih menyalahkan Buddha dan Bodhisattva, tetapi Buddha dan
Bodhisattva masih tetap ingin mewakili para makhluk menerima penderitaan
mereka, menanti sampai saat yang tepat untuk mempengaruhinya.
Kebetulan sekali ketika Upasaka Chen sudah tidak mampu
mempertahankan keyakinannya yang telah goyah, mungkin juga ini adalah wujud
dari doa mereka setiap hari kepada Buddha dan Bodhisattva, saya bermimpi
melihat Upasaka Chen menangis kesakitan. Maka itu saya segera menelepon ke
rumahnya dan putranya menjawab bahwa ayahnya sedang diantar ke Unit Gawat
Darurat di rumah sakit, Nyonya Chen menyampaikan salam saya kepadanya di UGD
dan dia menangis seperti seorang anak-anak. Saya mengunjunginya, dia berkata
padaku dengan gaya yang agak lucu : “Saya sudah bilang ke Buddha dan
Bodhisattva, saya sudah menyerah, tidak ingin melafal Amituofo lagi, akhirnya
setelah Buddha dan Bodhisattva tahu akan hal ini, anda juga diberitahu Mereka.
Sekarang jalinan komunikasi antara diriku dengan Buddha lancar kembali, saya
akan melafal Amituofo lagi, walaupun saya tidak dapat melafal dengan bersuara,
namun aku akan melafalnya di dalam hati”.
Mendengar ucapannya serta
perjuangan berat keluarganya, saya sungguh merasa sedih dan perih, hanya dapat
berkata padanya : “Jalan ini sungguh sulit, untunglah ada Buddha Amitabha ikut
serta”. Setelah itu dia menangis dan saya juga turut menangis. Kita adalah
manusia yang memiliki darah dan airmata, Buddha akan memaafkan kita, hapuslah
airmata dan melangkah lagi ke depan, kita semua saling membantu dengan penuh
sukacita pulang ke kampung halaman Alam Sukhavati. Menangis sejenak, beban di
hati pupus sudah, saya mencoba berbincang dengannya : “Saat menderita kita juga
harus memikirkan pada masa lampau kita juga membuat makhluk lain menderita,
kini saya telah merasakannya sendiri, maka itu dengan tulus kita meminta maaf
pada mereka, bertobat, melafal Amituofo dan melimpahkan jasa kebajikan ini agar
mereka memperoleh kedamaian”. Dia menganggukkan kepalanya dan mengiyakan.
Segala penderitaan dan kegelapan pasti akan berlalu, seperti
khayalan dan bayangan, asalkan kita bertekad ke arah yang gemilang, bertobat
dengan setulusnya. “Semua karma buruk yang dilakukan di masa kelahiran lampau,
yang berasal dari lobha, dosa dan moha yang tanpa awal, yang diperbuat melalui
tubuh, ucapan dan pikiran, kini saya bertobat atas semua ini”. Karma buruk yang
kita lakukan di masa lampau, karena di hati kita ada ketamakan, amarah dan
kebodohan, dan lobha, dosa, moha ini menggerakan kita untuk berbuat melalui
pikiran, ucapan dan tindakan, yang melukai makhluk lain, sehingga makhluk lain
menjadi menderita. Dan kini penderitaan itu kembali pada diri kita sendiri,
kita harus segera bertobat. Andaikata anda atau keluarga anda memiliki
keyakinan yang tidak kokoh, janganlah berkecil hati, pikirkanlah bagaimana
Upasaka Chen juga sedemikian menjalaninya. Ketika kita berniat kembali melafal
Amituofo, Buddha juga akan bermaitri karuna mengulurkan tanganNya, lihat saja
Upasaka Chen ini, dia masih dapat tersenyum bergandengan tangan dengan Buddha
pulang ke Alam Sukhavati.
Dikutip dari : Ceramah
Master Dao Zheng
Judul : Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika
Sumber : 笑著進入七寶池