Kisah Bodhisattva Sukacita (Bagian 1)
Penderitaan ekstrim menjadi kebahagiaan sejati
Melampaui penderitaan, datanglah sukacita.
Sebelumnya kami
pernah memperkenalkan tentang “Kisah Nyata dari Bodhisattva Sukacita”, banyak
orang yang beranggapan mungkin karena beliau memiliki anak yang berbakti,
keluarga yang harmonis, ekonomi yang memadai, makanya setiap hari dia
bersukacita. Andaikata dia bertemu kejadian yang tak menyenangkan, mana mungkin
bisa bersukacita lagi!” Namun
kenyataannya sungguh ironis, dia pernah menjalani babak kehidupan dalam penderitaan
yang ekstrim, namun dia dapat membangkitkan ketulusan melafal Amituofo. Pengalaman
hidupnya ini sungguh merupakan contoh teladan sebagai bagian dari teratai
mustika yang cacat.
Melampaui
ketidakberdayaan dan rasa malu.
Namun dengan
“Amituofo”, melompat keluar dari negeri sengsara.
Belasan tahun yang
lalu saya telah mengenal dirinya, saat itu dia sedang mendampingi putrinya di
kamar pasien, kala itu wajahnya dipenuhi awan kerisauan, memikirkan putrinya
yang baru berusia 15 tahun telah menderita kanker. Dia berangkat dari dusun
bagian selatan, menempuh perjalanan hingga sampai ke rumah sakit di Taichung,
dia harus menahan mabuk selama perjalanan yang jauh, wajahnya yang pucat dan
kelelahan. Dia memberitahu padaku :
“Saya mengayuh sepeda untuk membonceng putriku yang sedang menderita penyakit
parah, sepanjang perjalanan melewati ladang-ladang dusun, saya tidak tahu harus
ke mana memohon pengobatan, seluruh ragaku terasa tak berdaya.... sepasang
matanya tampak menahan ketidakberdayaan kehidupan dan airmata seorang bunda.
Suatu hari ketika dia
pergi ke toilet, kebetulan di kasur sebelah ada seorang Oma yang kesulitan
membalikkan badannya, putrinya melihat hal ini, namun dia sendiri juga sedang
diinfus sehingga tak leluasa bergerak, maka dia berteriak memanggil : “Mama!”.
Bodhisattva Sukacita yang sedang berada di dalam toilet terkejut mendengar
panggilan anaknya, dia mengira telah terjadi sesuatu pada putri kesayangannya, sehingga
segera menerobos keluar, dan sangat panik sampai kedua kakinya menjadi lemas. Begitu
keluar dari pintu toilet, kakinya terasa lemas, sehingga jatuh berlutut di atas
lantai, akibatnya kedua lututnya mengalami cedera.
Putrinya mengidap
kanker nasofaring (hidung dan tekak), dan ketika pertama kali diperiksa, sel
kanker telah menyebar sampai ke saraf tulang belakang dan bagian otak,
serta kelenjar limpa yang ada di bagian
leher. Pada saat itu ekonomi keluarganya sedang menghadapi masalah, tanaman
semangka gagal panen, seluruh ladangnya tidak tampak satupun buah yang muncul
keluar dan yang mengherankan hewan ternaknya juga mati satu persatu sampai tak
tersisa.
Untuk menutupi
biaya pengobatan putrinya, dia harus menjual ladangnya, bila tidak maka kondisi
ekonomi keluarga akan menjadi lebih parah lagi. Menghadapi cobaan ini, bila
orang lain pasti sudah mengeluh, namun dia tetap tegar menjalaninya. Saya
selalu mendapatinya sedang diam-diam menangis seorang diri, namun ketika
bertatap muka dengan putrinya, dia segera tersenyum dan menghibur putri
kesayangannya.
Waktu itu dokter
yang menangani putrinya mengusulkan sebuah terapi di mana memerlukan infus
selama 7 hari 7 malam, bayangkan saja orang dewasa yang menjalani terapi ini
muntah sampai tersiksa, apalagi seorang anak belia!
Melafal Amituofo
selama 7 hari 7 malam
Pada saat inilah saya menceritakan sebuah
kisah kepada mereka, menasehati mereka agar dengan tenang melafal Amituofo. Mungkin
karena akar kebajikan mereka tebal sehingga langsung timbul keyakinan, anak dan
ibu langsung mengamalkan melafal Amituofo. Bodhisattva Sukacita menfokuskan
segenap hati dan pikirannya ke dalam nama “Amituofo”, sambil menjaga dan
mendampingi anaknya melafal Amituofo. Kasih sayangnya pada sang putri
menyebabkan dia melupakan kelelahan dan dirinya sendiri, sampai tidak tidur, 7
hari 7 malam berada disamping ranjang pasien melafal Amituofo, kita saja yang
mengikuti “kegiatan pelafalan Amituofo selama 7 hari”, tidak seserius seperti
dirinya. Kemudian dia berkata padaku : “Detik itu, apapun sudah tak terpikir
lagi, yang ada hanya sepatah “Amituofo”.
Suaminya adalah
seorang buruh bangunan, setiap hari ketika pulang kerja, dia akan berangkat
dengan kereta api dari dusunnya di selatan, kemudian harus menaiki mobil
penumpang lagi, baru sampai di Taichung untuk membantu merawat putrinya. Setiap malam tidur di sebuah bangku panjang
dan keesokkan harinya ketika hari masih gelap dia sudah harus meninggalkan
rumah sakit menuju tempat kerjanya, demikianlah setiap harinya. Pernah suatu
hari karena kelelahan dia tertidur di dalam kereta api, sehingga tidak tahu
kalau kereta tumpangannya telah melewati terminal yang hendak ditujunya,
sehingga dia harus menumpang kereta lain untuk balik kembali.
Saat itu saya
selalu mendapat giliran bertugas di malam hari, setiap melewati kamar pasien
putri kecil itu, selalu tersentuh oleh sepasang mata bunda yang welas asih. Bayangan
sang ayah yang hadir setiap malam dan pergi sebelum mentari terbit, sungguh
patut diberi penghormatan.
Dikutip dari Ceramah Master Dao-zheng :
Kelompok Gangster Berubah Menjadi
Pesamuan Kolam Teratai