Kisah Pasien yang diborgol (bagian 2)
Menyesali karena belum dapat mengusahakan agar semua insan dapat
menikmati Buddha Dharma.
Memohon pada Buddha dan Bodhisattva agar mengulurkan tangan untuk
memberi bantuan.
Maka itu ketika
menghadapi pasien yang menderita luka tembak itu, yang disebut-sebut sebagai
ketua gangster, dalam hatiku terus melafal Amituofo buat dirinya. Saya sangat
menyesali walaupun telah memperoleh amerta Dharma, namun masih belum mampu
berterimakasih, agar semua insan dapat menikmati Buddha Dharma, sehingga
terhindar dari malapetaka yang tak perlu ini. Jujur saja, pertama kali melihat
dirinya yang begitu tersiksa, saya merasa sangat pilu, namun kemudian karena
tidak tahu bagaimana cara membantunya, makanya hanya bisa memohon pada Buddha
Amitabha, dan para Bodhisattva yang maitri karuna agar datang mendampinginya,
memancarkan cahaya suci, mengulurkan tangan Nya untuk menyelamatkan anak muda
ini.
Kebaktian
ditengah kesibukan medis
Beberapa hari kemudian, suatu malam
kebetulan saya sedang bertugas di ruang ICU, sambil menunggu laporan hasil
pemeriksaan pasien, saya pun duduk di meja dan melakukan kebaktian sore.
Rekan-rekanku para dokter dan suster, mengetahui kebiasaanku melakukan
kebaktian pagi dan sore, sehingga terkadang mereka akan mendukungku, membantuku
menyelesaikan tugas-tugas yang tidak mendesak, agar saya memiliki waktu luang
untuk membaca sutra dan melafal Amituofo, untuk menenangkan hatiku yang galau,
juga melimpahkan jasa kebajikan kepada para pasien, memohon pemberkatan dari
para Buddha dan Bodhisattva. Dengan dukungan dari semua rekan kerja sehingga
kebaktian pagi dan sore dapat berkesinambungan setiap hari tanpa terputus.
Malam ini saya menyelesaikan kebaktian sore
di ruang ICU, membaca sutra dan melafal Amituofo, ketika beranjali hendak
membaca syair pelimpahan jasa, dalam hatiku juga berdoa untuk pasien yang
menderita luka tembak, karena dia adalah pasien ruang bedah, di rumah sakit
masing-masing bagian ada penanggung jawab tersendiri, walaupun ruang ICU dan
ruang bedah digabung, namun tanpa alasan khusus, kita tidak boleh sembarangan
melihat pasien ruang lainnya.
Akhirnya kesempatan itu
datang juga!
Ketika saya selesai
melakukan kebaktian, dan membuka mata, kebetulan melihat pasien itu, ternyata
tempat tidurnya berhadapan dengan meja suster, dia melambai-lambaikan tangannya
sepertinya sedang memanggil, saya bertanya padanya : “Apakah anda sedang
memanggil saya?”, dia mengangguk, saya bertanya lagi : “Adakah yang bisa saya
bantu?”. Dia menjawab : “Dapatkah~ anda~ tolong~ mengobati~ saya!”. Karena
siksaan lukanya sehingga bicara pun sangat susah. Sungguh pemberkatan dari
Buddha Amitabha, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk memperkenalkan Buddha
Dharma kepadanya, kemudian saya segera membaca data riwayat klinis pasien,
memeriksa selang-selangnya, dan mendengarkan bunyi nafasnya, tampaknya ada
kemajuan, namun dengan dipasang selang dan tidur dengan posisi duduk terus
menerus, juga sangat tersiksa.
Semoga
semua makhluk mencapai KeBuddhaan
Karena saya pernah
bertekad, selama mengabdi di rumah sakit, asalkan pasien itu pernah saya
tangani, saya akan berharap semoga mereka dapat melafal Amituofo walalupun
hanya satu lafalan saja, demi niat ini, saya pernah mendapat pandangan mata
orang lain yang menganggap diriku aneh serta ditertawakan orang lain, namun
saya tetap menggunakan cara ini untuk mengingatkan diri sendiri melafal
Amituofo serta memotivasi insan lain. Kali ini sungguh tak terduga pasien itu
sendiri yang memintaku untuk mengobatinya.
Air di sungai dapat memantulkan
cahaya rembulan, semua makhluk yang melatih diri pasti akan mencapai
KeBuddhaan.
Saya menjelaskan
secara terperinci laporan hasil pemeriksaan pada dirinya, karena diselangnya
masih ada sisa darah yang mengalir. Saya memberitahukan padanya : “Jika
pikiranmu dapat tenang, maka lukamu akan cepat sembuh, karena ketika hati
seseorang telah damai, energinya juga takkan menyebar, maka tubuh akan
memusatkan semua kekuatan untuk memulihkan kondisi tubuh”. Dia mengerutkan
kening dan berkata : “Sungguh tersiksa! Sungguh menderita! Pikiranku sangat
kalut!”. Saya menghiburnya dan berkata : “Andaikata kondisi diri saya sama
dengan dirimu yang terluka dan diinfus, siang malam hanya bisa duduk, juga akan
tersiksa dan galau, anda telah sangat bersabar, sungguh langka! Saya adalah
seorang pengikut Buddha, ketika hatiku tersiksa dan sangat galau, saya akan
melafal Amituofo, dan hasilnya sangat menenangkan batin, banyak pasien yang
telah mencobanya, sangat bermanfaat, apakah anda bersedia mencobanya?”
Dia diam sejenak
namun tidak ada tanda-tanda penolakan. Kebetulan saat itu tidak ada yang
mencariku maka saya pun melanjutkan pembicaraan : “Buddha Amitabha ibarat
rembulan yang memancarkan sinar di malam yang kelam, kita mengibaratkannya
sebagai air sungai memantulkan cahaya rembulan, asalkan tempat yang berair
tenang maka dapat memantulkan cahaya rembulan, kita menyebutnya sebagai air di
sungai pasti memantulkan cahaya rembulan, di mana tiada awan yang menutupi maka
di sana ada pikiran yang cerah! Cahaya Buddha menerangi hati kita, ibarat
demikian, hati Buddha adalah yang paling maitri karuna dan setara, tak peduli
itu adalah lautan besar, sungai kecil atau hanya selokan air, juga dapat memantulkan
cahaya rembulan.
Amituofo adalah
nama dari Buddha Amitabha, “Amita” yang bila diterjemahkan artinya adalah tanpa
batas. “Buddha” artinya yang tercerahkan, bila digabungkan dapat berarti
“pencerahan tanpa batas”, artinya di mana saja ada pencerahan. Tanpa batasnya
Buddha Amitabha juga termasuk cahaya tanpa batas, usia tak terhingga, termasuk
waktu dan ruang yang tiada batas,
Dikutip dari Ceramah Master Dao-zheng :
Kelompok Gangster Berubah Menjadi
Pesamuan Kolam Teratai