Ada
seorang pasien dimana seluruh rahimnya telah digerogoti sel kanker, dan tinjanya
keluar dari perut. Kamarnya di lantai 3 namun sampai lantai 2 juga tersebar
baunya. Putranya yang menjaganya terpaksa menggunakan sehelai selimut untuk
menutupi hidungnya. Pasien ini selalu ingin bunuh diri, suatu hari ketika
anaknya keluar membeli sarapan, dia berusaha untuk bangkit, ketika hendak
melompat dari lantai 3, pas anaknya pulang, menggagalkan usaha bunuh dirinya. Sesungguhnya
dia sudah cukup menderita, namun karena ajalnya belum sampai, bunuh diri juga
tak berguna. bunuh diri adalah tumimbal lahir yang tiada ujungnya, adalah
mengulang adegan penderitaan yang tiada habisnya.
Ada
sebuah syair pujangga : “Kala hidup seindah bunga di musim panas, kala mati
seindah rembulan di musim gugur”. Jika
anda ingin seindah bunga musim gugur tidaklah sulit, namun jika ingin sewaktu
mati seindah rembulan musim panas, harus memiliki ketrampilan!
Terkadang
sebagian orang akan menyalahkan umat Buddha : “Kalian penganut Buddha selalu
suka membahas tentang “kematian”, “menjelang ajal”…ah, terlalu berlebihan,
sepertinya telah mengabaikan kehidupan, masih banyak yang bisa dilakukan dalam
kehidupan ini, terutama kalian penganut aliran Sukhavati, tiap hari kerjaannya
cuma melafal Amituofo, bersiap-siap ke Alam Sukhavati, sungguh pesimis”.
Sesungguhnya
kita merasa hidup ini ibarat melukis seekor naga, setiap goresan demi goresan
begitu penting, kehidupan dan kematian sama pentingnya, dan melafal Amituofo adalah pikiran paling bajik,
dan paling positif sehingga kehidupan dan kematian memperoleh kebajikan dan
keindahan yang paling sempurna.
Dikutip dari ceramah Master Dao-zheng --- Mendengar
Lantunan Tembang Sungai Gangga