Tabiat berubah
menjadi pencerahan --- Jangan menjadi budak dari kebiasaan.
Mengkaji apakah
“kebiasaan” sejalan dengan “tekad”.
Tanpa kita sadari dalam keseharian, kita
sedang membina sebuah kebiasaan, tidak
menyadari bahwa kebiasaan tersebut dengan tekad kita sejalan atau tidak, bila
tidak sejalan, maka akan menimbulkan kerisauan pada diri sendiri, menjadi
rintangan untuk terlahir ke Alam Sukhavati. Kebiasaan dapat diibaratkan sebagai
sebilah pisau, pada dasarnya dia tidak mengandung kebaikan dan kejahatan, jika
anda tahu cara menggunakan nya ke arah yang baik, maka dia akan berguna bagimu;
sebaliknya bila tidak tahu cara menggunakannya, maka tangan anda akan terluka
oleh sayatan pisau, darah mengalir dan anda menjerit kesakitan, ini namanya
penggunaan yang salah. Maka itu pisau itu sendiri tidak baik juga tidak jahat,
namun tergantung cara kita menggunakannya, kebiasaan juga demikian. Bagi kita
praktisi Nian-fo, hal yang dapat membantu kita menenangkan diri, terlahir ke
Alam Sukhavati tanpa rintangan, maka ini adalah kebiasaan baik, maka harus
dibina; sebaliknya kebiasaan yang dapat menghalangi, menambah kerisauan
seharusnya dilepaskan.
Jangan menjadi
budak dari kebiasaan.
Sebagian orang sangat memandang berat
pada kebiasaan nya, menganggap nya seperti kesayangan nya, sangat
menghargainya, dan tidak sudi mengubahnya walaupun hanya sekejab. Contohnya :
barang kesayangan nya harus diletakkan pada tempat tertentu, arah tertentu,
sikat gigi harus diletakkan pada sudut tertentu, sayuran di kulkas harus
disusun dengan gaya tertentu; tidur hanya pada kasur tertentu, arah tertentu, jika
tidak maka tak bisa lelap; belajar harus duduk di bangku tertentu, jika tidak
maka tak bisa berkonsentrasi; melafal Amituofo harus pakai bentuk tertentu, jika
tidak maka tak biasa; mangkok makan harus disusun sedemikian, sumpit harus di
susun sedemikian rupa, panci harus digosok sampai tahap tertentu, pakaian harus
dicuci pada waktu tertentu, pukul berapa baru boleh dijemur, jam berapa baru
boleh disimpan........Kebiasaan kehidupan semacam ini, tampaknya sangat bagus,
namun bila bertemu insan lain yang memiliki kebiasaan berbeda, maka akan segera
timbul kerisauan, kemudian mengomel tanpa henti : “Kebiasaanku adalah begini
begitu!” Bila insan lain tidak mau menuruti kebiasaan nya, maka dia merasa
insan itu tidak benar, menganggap orang lain itu tidak bisa melakukan pekerjaan
dengan baik, tidak disiplin. Walaupun mulutnya tidak mengucapkan bahwa dirinya
pintar bekerja, namun dalam hatinya selalu merasa apa yang dikerjakan orang
lain tidak bisa sesuai dengan keinginan nya, menganggap hasil kerja orang lain
tidak sebaik dirinya. Kondisi semacam ini malah sebaliknya diikat oleh
kebiasaan nya, menjadi budak dari kebiasaan, juga menjadi budak dari
keangkuhan. Mungkin kebiasaan nya itu tidak membawa manfaat apa pun bagi
dirinya, malah akan menimbulkan banyak kerisauan sehingga kehidupan nya jadi
tak bahagia dan tidak bebas.
Hidup teratur tanpa
harus diikat oleh kebiasaan
Cobalah kita renungkan : jika suatu
hari kita mati, apakah sikat gigi, mangkok makan, sayuran di kulkas, dapat kita
bawa serta, orang lain juga lebih tidak menginginkan nya. Jujur saja, barang
peninggalan almarhum, orang lain merasa agak pantang. Kecuali bila kita serupa
para Bhiksu senior yang penuh kemuliaan,
dan memiliki banyak murid, sehingga setelah wafat, murid-muridnya
sengaja mendirikan tugu peringatan untuk menyimpan barang-barang
peninggalannya.
Maka itu buat apa memaksakan
kebiasaan kita sehingga muncul kerisauan, bukannya menuruti ajaran Buddha untuk
menyeimbangkan batin, adakah nilainya dengan memaksakan dan keras kepala? Layakkah
setiap hari kita membina kebiasaan ini, memaksakan diri dan menjadi risau
karenanya? Mengapa kita tidak membina kebiasaan untuk terlahir ke Alam
Sukhavati yakni keyakinan, tekad, merelakan dan kebijaksanaan, namun malah
berjuang mati-matian untuk membina kebiasaan kemelekatan alam saha?
Kita perlu mengetahui bahwa para guru
sesepuh juga hidup dengan kebiasaan yang teratur, namun dalam kebiasaan nya itu
mereka tidak terikat, takkan timbul kerisauan, misalnya, ketika orang lain
tidak mengikuti kebiasaan nya, dia juga tetap merasa bebas tanpa kerisauan,
takkan merasa tidak biasa. Maka kita katakan “jangan menjadi budak kebiasaan” ,
bukannya menganjurkan anda untuk sembarangan menaruh sesuatu atau hidup tanpa
disiplin, ini jangan disalahpahamkan. Kami menasehati agar anda hidup teratur
namun dalam kebiasaan itu jangan sampai diikat, jangan menganggap bahwa kita
memiliki banyak “kebiasaan” maka selalu menemukan banyak hal yang “tak biasa” ,
“tak sesuai keinginan”; dan janganlah karena banyak pola kebiasaan yang telah kita
tetapkan sehingga melihat banyak insan dan kejadian menjadi tak suka dan tidak
sesuai keinginan hati, sehingga timbul banyak kerisauan yang tak perlu. Ini
dinamakan niat yang salah, seperti salah menggunakan pisau, sehingga terluka
oleh sayatan, menggunakan kebiasaan untuk melukai diri sendiri, merintangi diri
menuju kebahagiaan dan kebebasan.
Dikutip
dari ceramah Master Dao-zheng : “Teratai
Mustika Yang Cacat”.