Kebiasaan dapat
menjadi kekuatan daya tarik, mengendalikan diri kita.
Andaikata ada seseorang yang bersalah
pada diri kita, mungkin kita akan tidak suka pada dirinya, teringat saja sudah
emosi, apalagi kalau melihatnya, terasa
ingin memarahinya, sehingga harus mengundang Buddha Amitabha sementara untuk ke
pinggir dulu, karena sekarang hendak menyembah “dewa amarah”, melupakan keseluruhan Alam Sukhavati! Mengapa
kita tidak bisa mengendalikan pikiran kita, harus membiarkannya emosi? Juga
menjadikannya sebuah kebiasaan, apakah kita harus menjadi budak dari amarah,
bukan tuan rumah? Bila dalam keseharian kita membina kebiasaan ini, bagaimana
ketika menjelang ajal, bukankah sangat membahayakan, mengapa? Karena bila
kebiasaan telah dibina, maka akan
menjadi daya tarik yang besar yang akan mengendalikan kita.
Coba pikirkan mangkok makan, sumpit,
sampai kasur yang kita tiduri, kepala menghadap ke arah mana juga merupakan
“kebiasaan”. Setiap hari kita dikendalikan oleh kebiasaan kita, ketika bertemu
masalah, maka kita akan menyelesaikannya menuruti kebiasaan kita. Tak perlu
berpikir lagi, kebiasaan dan tabiat segera mengendalikan diri kita. Berada
bersama orang lain juga akan mempengaruhi kebiasaan kita, dan dikendalikan oleh
tabiat kita. Sebagian orang, ketika bertatap muka sangat sopan, lembut, ini
juga akan menjadi kebiasaan. Ada juga orang yang tampak suka mengeluh,
menyalahkan, semua tidak sesuai keinginannya, sikap ini juga akan menjadi
kebiasaan. Banyak ayahbunda yang memiliki kebiasaan ini terhadap anaknya,
begitu melihat anaknya langsung mengeluh. Dalam pergaulan tentunya akan
mengakibatkan orang lain jadi tak senang pada kita, bukan hanya akan merintangi
kehidupan kita bahkan juga akan merintangi kita terlahir ke Alam Sukhavati.
Dikutip
dari ceramah Master Dao-zheng : “Teratai
Mustika Yang Cacat”.