Kisah Bodhisattva Sukacita (Bagian 2)
Terpaan angin, rumah rusak, tetesan air
hujan, anak sakit, ternak mati, panen gagal, berbagai kepanikan.
Penderitaan ekstrim, mengerahkan segenap hati
melafal Amituofo.
Bodhisattva
Sukacita menceritakan bahwa pada tahun di mana dia membawa putrinya keluar dari
rumah sakit dan pulang ke rumah, bertepatan terjadinya badai, setibanya di
rumah, kondisi rumah sudah porak poranda, hampir saja diterbangkan oleh badai,
untunglah berkat bantuan penduduk dusun, atap rumahnya tak jadi dibawa badai,
namun yang tak terhindari adalah kebocoran dan air hujan masuk ke dalam rumah,
anak-anaknya yang lain yang dikejutkan peristiwa badai menjadi ketakutan dan terduduk
di lantai, sungguh kasihan, baru saja sampai di rumah, belum sempat mengurus
putrinya, harus merisaukan malam ini ke mana harus berteduh, benar-benar
kondisi dimana “rumah bocor menatap hujan malam yang berkepanjangan”, namun dia
tetap tegar, airmatanya takkan mengikuti rintikan air hujan yang mengalir, keyakinannya
juga tak goyah diterpa angin! Dia mulai melafal Amituofo, sepanjang malam dalam
rintikan hujan, dia menemani suara tetesan air dengan lafalan Amituofo, ketika
angin bertiup kencang, dia akan lebih bersemangat daripada hembusan angin, memperkokoh
ketenangan hatinya, ibarat angkasa bebas yang tak gentar oleh terpaan angin.
Dia bukan seorang
praktisi yang melafal Amituofo dalam kondisi yang menyenangkan, namun dalam
keadaan penuh kesusahan, “rumah rusak, terpaan angin, tetesan air hujan, anak
sakit, ternak mati, gagal panen, berbagai kepanikan, tiada tempat berteduh”, penderitaan
yang sungguh ekstrim, dia mengerahkan segenap hatinya melafal Amituofo,
menyerahkan semuanya kepada Buddha Amitabha, dimana kekuatan manusia sudah tak
berdaya lagi, dia hanya yakin akan satu hal yakni mengandalkan Buddha Amitabha.
Dengan sendirinya hati jadi terbuka, Habis gelap terbitlah terang.
Dalam sutra
tertera, jasa kebajikan melafal Amituofo sungguh tak terbayangkan, tiba-tiba
dia telah mampu mengikhlaskan semua penderitaannya, hatinya jadi terbuka, habis
gelap terbitlah terang! Di dalam Bab “Bodhisattva Mahasthamaprapta Melafal Nama
Buddha Sempurna Tanpa Rintangan”, tertera : “Jika pikiran para makhluk, mengingat
dan melafal nama Buddha, kelak pasti akan bertemu dengan Buddha, takkan jauh
terpisah dari Buddha, tak perlu menambah menggunakan metode lainnya, dengan
sendirinya hati akan terbuka (menemukan jiwa KeBuddhaan). Bagaikan
insan yang menyalakan dupa harum, maka jasmaninya juga turut menebar harum
semerbak, inilah yang disebut “kewibawaan semerbak cahaya” (dengan semerbak
keharuman Dharma-kaya Buddha dan cahaya kebijaksanaan Nya, menwibawakan jiwa
KeBuddhaan diri)
Saya
menemukan contoh “dengan sendirinya hati jadi terbuka” pada diri Bodhisattva
Sukacita, dalam penderitaan yang ekstrim, dia menfokuskan diri melafal
Amituofo, dengan pikirannya mengubah kondisi, hati terbuka nasib pun berubah, bersukacita
melewati hari-harinya. Dia berkata : “Buddha Amitabha membantu membuka kebijaksanaanku,
membuka pintu hatiku, mengubah semua kerisauanku menjadi kekuatan dan sukacita!”.
Seorang ibu petani yang tidak mengenal huruf, namun dapat mengucapkan kalimat sedemikian,
sungguh membuatku kagum dan menyesali diriku tak sebanding dirinya.
Menyesali Karma Pembunuhan.
Belasan tahun yang
lalu, ketika Master Chan-yun mengadakan ceramah tentang sila dan vegetarian,
saya menganjurkan Bodhisattva Sukacita dan putrinya untuk turut mendengarkan
ceramah. Dan kemudian ibu dan anak memutuskan untuk ber-Trisarana. Setelah Master
Chan-yun memberikan ceramah pada mereka, Bodhisattva Sukacita sangat menyesali
perbuatannya di masa lalu akibat ketidaktahuan nya, telah banyak membunuh ayam
dan bebek. Sambil menangis dia berkata : “Ketika melihat putriku menderita
sakit parah dan harus menjalani radioterapi sampai kulit lehernya jadi hangus,
sampai terkelupas dan sulit menelan makanan, dia baru menyadari di masa lalu
bagaimana penderitaan ketika pisaunya menancap di leher ayam.
Dikutip dari Ceramah Master Dao-zheng :
Kelompok Gangster Berubah Menjadi
Pesamuan Kolam Teratai