Dari masalah rambut
sampai mengubah sudut pandang, menuju kebebasan.
Kita mengambil satu contoh lagi,
ketika dilahirkan saya tidak memiliki rambut, cuma beberapa helai dan jelek.
Tante berkata pada mama : “Sesungguhnya saya ingin memuji bayi ini, namun jujur
saja setelah memandangnya agak lama sepertinya tidak ada yang bisa dipuji”,
sampai usia ku 2-3 tahun rambutku juga tidak lebat, sehingga kadang kala papa
menggendongku keluar, orang lain akan berkata : “ Selamat ya Dokter Guo, anda
mendapat anak laki-laki lagi”.
Menanjak usia sekolah dasar karena
pengaruh teman-teman maka saya mulai sangat menyayangi rambutku karena
menganggapnya sangat bernilai. Setiap hari mama membantuku untuk merawat rambut
panjangku.
Sampai pada sekolah menengah,
peraturan sekolah mengharuskan siswi memotong rambutnya sampai batas telinga,
dan bila lewat sedikit saja maka guru akan berkata : “Tak bisa, harus lebih
pendek lagi!” Lagi-lagi setiap hari mama harus memotong rambutku agar selalu
pendek, sampai di sekolah teman-teman akan menertawakan diriku : “Rambutmu
seperti digigit anjing!” Ucapan ini sungguh membuatku emosi, pulang dan
mengeluh pada mama : “Anda memotong rambutku dengan jelek sehingga saya diejek
teman-teman!”
Seiring dengan berlalunya waktu saya
mulai membaca karya tulis kisah para Bhiksu senior dan saya baru memahami bahwa
bukankah para Bhiksu tidak memiliki rambut?
Bila demikian rambut tentunya tidak memiliki “nilai”, sejak itu saya
tidak melekat pada masalah rambut lagi.
Ketika saya menjadi seorang dokter,
sepulang kerja saya menuju ke salon kecantikan, saya berpesan pada pegawai
salon agar memendekkan sedikit saja bagian poni. Karena belakangan ini terus
lembur maka saya bermaksud memejamkan mata sejenak. Tiba-tiba terdengar
teriakan si pegawai salon, karena satu sabetan guntingan nya telah memendekkan
rambutku jadi setengah, dan dia hampir menangis. Pelanggan yang duduk disebelah
dirikku mengerutkan alisnya dan berkata : “Aiya! Kenapa anda bisa memperlakukan
rambut orang lain dengan begini!
Melihat kejadian ini bos salon keluar
dan memarahi pegawainya, saya merasa iba dan berkata : “Ketika saya dilahirkan,
tante saya berkata sesungguhnya dia ingin memuji saya, namun tidak menemukan
apa yang bisa dipuji, jadi sejak dilahirkan saya memang jelek, jadi bukan
kesalahan pegawai anda. Anda juga tak perlu khawatir karena saya memang
bermaksud jadi Bhiksuni, jadi sekarang rambutku agak pendek tak masalah!”
Tamu salon yang mendengar ucapanku
jadi tertawa dan pegawai salon itu tidak berani menerima uangku, saya berkata
padanya : “Anda telah bekerja dengan susah payah, terimalah uangku! Jangan
khawatir, lafallah Amituofo”. Habis itu saya pulang ke asrama, begitu
membukakan pintu dan melihat tampangku, teman asrama ku tidak berhenti tertawa.
Dia berkata : “Darimana saja kamu,
rambutmu begitu tidak bergaya, biar saya saja yang menggunting rambutmu! Bila
saya adalah diri kamu, besok saya pasti tak berani masuk kerja!”
Saya menjawab : “Ah bukan masalah!
Saya masuk kerja untuk pasien, tak ada kaitannya dengan rambutku”.
Keesokkan harinya di rumah sakit,
para suster yang melihat diriku langsung merasa wah dan mulai menyapa ku : “Dokter
Guo! Kenapa anda menggunting gaya rambut yang demikian jelek?”
Saya menjawab : “Saya merasa nyaman!”
Dan ada
pula yang mengkritik : “Model rambut anda sungguh tak bergaya!”
Saya menjawab : ”Saya baru tahu bahwa
gayaku hanya ada pada helaian rambut!”
Dan para rekan dokter berkata : “Apa
yang telah terjadi dengan diri anda sehingga mengambil langkah begini?”
Saya menjawab : “Apa anda tidak
melihat dahiku tidak terlalu terbuka?”
Ada seorang pasien wanita sekitar 50
tahun, setiap kali berjumpa denganku pasti selalu mengeluh, karena sel
kankernya telah menjalar sampai ke tulang kepalanya, sehingga seluruh tubuhnya
kesakitan, awalnya dia juga ingin mengeluh namun ketika melihat rambutku, dia
langsung tertawa! Saya berkata padanya : ”Sejak mengenal anda saya tidak pernah
melihat anda tertawa, bila sejak awal saya tahu dengan cara begini baru bisa
membuat anda tertawa senang, maka dari awal saya akan memotong rambut gaya
begini!”
Mengubah sudut
pandang, tidak perlu memaksakan diri untuk bersabar.
Dari contoh masalah rambut di atas
kita dapat mengubah sudut pandang kita pada sebuah “nilai”. Bila kita
menganggap bahwa Buddha Amitabha itu penting dan hal lainnya tidak penting,
maka kita takkan berpengaruh pada kebahagiaan dan kebebasan kita. Walaupun
mendapat rintangan dari musuh, namun kita takkan lagi memaksakan diri untuk
menahan kesabaran. Kita harus memahami :
“Masalah apa yang menyebabkan saya
menderita?”
“Apakah hal itu bernilai? Sehingga
kita harus mengejar dan menderita untuknya?”
“Apakah hal itu memiliki kaitan
dengan tekad kita terlahir ke Alam Sukhavati?”
Bila kita memikirkannya baik-baik,
mana ada nilainya, dan juga tidak ada kaitannya dengan tekad kita terlahir ke
Alam Sukhavati, maka dengan sendirinya kita dapat mengikhlaskan dan
merelakannya.
Dikutip
dari ceramah Master Dao-zheng : “Teratai
Mustika Yang Cacat”.