Jangan biarkan kepribadian
merintangi berkembangnya jiwa KeBuddhaan.
Sebagian praktisi yang telah lama
belajar Buddha Dharma, tapi masih harus memaksakan kepribadian diri harus
begini begitu, tidak terbiasa dengan kebiasaan orang lain. Apa itu kepribadian?
Yakni kebiasaan yang kita bina sejak masa tanpa awal, sehingga menjadi tabiat.
Kita harus perhatikan : Buddha mengajari kita mengembangkan jiwa KeBuddhaan,
bukannya membina kepribadian; Buddha mengajari kita untuk melepaskan tabiat dan
kerisauan, bukan membina kebiasaan yang melekat; jika ingin mengembangkan jiwa
KeBuddhaan, harus melepaskan kerisauan dan kemelekatan, barulah jiwa KeBuddhaan
dapat dikembangkan, lepaskan semua pandangan yang berbeda dengan Buddha. Jika
selalu memaksakan agar insan lain mengikuti kebiasaan kita, maka akan berselisih dengan orang lain, tidak
dapat memasuki kebijaksanaan Buddha, mengembangkan jiwa KeBuddhaan, karena
diikat oleh keperibadian dan kebiasaan, ibarat es beku yang tidak dapat
mencair, bukan saja tidak dapat bebas mengikuti pola tempatnya malah akan mudah
pecah dan hancur.
Kebiasaan baik membantu terlahir ke Alam Sukhavati
: Sebuah contoh nyata.
Berikut ini adalah sebuah kisah
nyata, bagaimana memahami perngaruh kebiasaan baik terhadap kelahiran ke Alam
Sukhavati : Saya pernah melihat seorang pasien kanker yang berusia sekitar 50
tahun, sel kanker telah menyerang otaknya, sehingga satu tangan dan satu
kakinya tidak leluasa bergerak. Apa yang ingin diucapkannya ketika sampai
dimulutnya selalu akan berubah menjadi kata lain, misalnya ingin mengucapkan
kata “timur”, namun sampai di mulut menjadi kata “barat”.
Suatu hari ketika hendak mengadakan
pemeriksaan pada dirinya, begitu masuk ke kamarnya saya langsung beranjali :
“Amituofo”, dia segera menggunakan sebelah tangan nya yang masih bisa bergerak
untuk menggerakkan satu tangan yang tak leluasa kemudian berusaha untuk
beranjali. Mulutnya juga ingin mengucapkan “Amituofo” namun yang keluar dari
mulutnya kedengaran seperti bahasa Jepang, dia menyadarinya maka itu jadi
menangis, saat itu saya jadi menyadari untuk mengucapkan sepatah “Amituofo”
dengan benar bukanlah hal yang mudah.
Pada saat itu saya berusaha untuk
menghiburnya : “Hatimu ingin melafal Amituofo, Buddha Amitabha pasti mengetahuinya.
Melafal Amituofo yang terpenting adalah “hati” yang melafal, hatimu dapat
senantiasa mengingat dan memikirkan Buddha!” Dia masih tetap menangis, walaupun
saya sudah menghiburnya, namun bila kita melihat dari sudut dirinya, bagaimana
perasaannya yang tidak dapat melafal Amituofo, tentunya sangat bersedih hati,
saya juga merasa amat pilu.
Tiba-tiba operator menyampaikan bahwa
ada yang mencari saya. Ternyata ada tiga orang anggota Sangha, saya segera
mengundang mereka untuk memberkahi pasien. Begitu masuk si pasien segera
mengucapkan sepatah “Amituofo” dan kali ini begitu jelas dan tepat! Ternyata
pasien ini dulunya juga suka mengunjungi vihara, melihat kebiasaan para
biarawan mengucapkan “Amituofo”, sehingga menjelang ajalnya walaupun tidak bisa
mengucapkan “Amituofo” dengan tepat, namun ketika melihat biarawan kebiasaannya
langsung muncul dan dapat melafal “Amituofo” dengan tepat. Aneh juga, sejak
saat itu pasien ini sudah dapat melafal Amituofo dengan tepat, melihatnya saya
jadi sangat gembira, dia juga sangat senang, sampai-sampai mengalirkan airmata
dan terus berterimakasih pada Buddha Amitabha.
Kemudian tiga anggota Sangha itu pun
pamit. Karena hari itu jumlah pasien amat banyak, saya tidak sempat menanyakan
siapa anggota Sangha tersebut dan maksud kunjungan mereka. Mungkin Buddha
mengetahui kebiasaan pasien ini, khusus mengutus anggota Sangha untuk
membantunya? Seperti kebiasaan ini yang begitu melihat anggota Sangha langsung
beranjali dan melafal Amituofo, benar-benar adalah kebiasaan yang baik, yang
akan membantu kita membangkitkan pikiran benar, kebiasaan baik yang membantu
kita terlahir ke Alam Sukhavati. Kita harus membinanya jangan sampai terputus.
Dikutip
dari ceramah Master Dao-zheng : “Teratai
Mustika Yang Cacat”.