Kisah Seorang Ibu Tua
Kondisi masyarakat masa kini,
hubungan pernikahan yang retak merupakan hal yang sudah biasa, banyak insan
yang karena suami atau istrinya menyukai pihak ketiga, sampai pada penceraian
yang membuat hati amat tersiksa dan tak ikhlas.
Saya mengenal seorang Bodhisattva
senior yang sering disapa sebagai “Ibu tua”. Suaminya menikah lagi dengan
wanita lain, namun dia tak pernah menyalahkan siapa pun, dia mau memaafkan dan
sangat berwelas asih, akhirnya suaminya jadi tergugah, menyatakan penyesalan pada
akhir hayatnya, dan Ibu tua sendiri melewati kehidupan nya dengan bersukacita
melafal Amituofo.
Ibu tua merupakan seorang yang
berbakti, hanya beberapa tahun usia pernikahannya, suaminya telah memiliki
wanita lain, bahkan sering membawa selir nya keluar bertamasya, sampai-sampai
tak pulang rumah, namun Ibu tua tak pernah meributkan hal ini. Dia juga tak
pernah munafik memaksakan diri untuk bersabar, dia bijaksana merasa bahwa tiada
gunanya bertengkar, dengan kebijaksanaan nya dia melepas semua kerisauan, dan mendapat kebebasan, menunaikan
kewajibannya membesarkan anak-anaknya, menanami ladang, mencari nafkah hidup
sendiri. Kemudian suami dan selir melahirkan seorang anak, bahkan membawa
pulang anaknya untuk diasuh Ibu tua, sementara mereka pergi bersenang-senang!
Setiap insan yang bila bertemu hal
ini tentunya tidak dapat menahan sabar, namun Ibu tua ini malah merasa anak
yang tidak ada yang mengasuh ini sungguh kasihan, dia pun mengasuh anak ini,
bahkan keluar masuk ladang juga harus menggendong anak ini. Kalau hari lagi
panas, maka Ibu tua akan menempatkan anak itu di tempat yang agak teduh sambil
memayunginya, seluruh penduduk dusun menertawainya bodoh sekali begitu serius
mengasuh anak musuhnya! Namun Ibu tua iba melihat anak yang tidak ada yang
mengasuhnya, jadi tak peduli anak musuh atau bukan, juga harus dibesarkan.
Anak itu kini telah dewasa dan
menganggap Ibu tua adalah mamanya, bahkan dia tak berani percaya bahwa selir
itu barulah mama kandungnya. Kemudian suaminya membawa selir tinggal di rumah,
Ibu tua tetap memperlakukan mereka dengan baik. Bahkan sewaktu menjalani masa
persalinan, Ibu tua melayani selir dengan baik dan tak pernah mengeluh. Akhirnya
selir terserang penyakit parah dan setelah otaknya dibedah, dia pun menjadi
orang cacat, sampai pada akhirnya terbaring tak berdaya, puluhan tahun tidak
sadar, namun Ibu tua tidak meremehkannya, mengulurkan tangan untuk
menggandengnya, walaupun selir ini berada dalam koma, namun airmata nya selalu
mengalir, Ibu tua senantiasa mendampingi melafal Amituofo, dihatinya tiada
sedikitpun kebencian.
Anak selir amat berbakti, tidak hanya
membantu merawat mama nya yang telah cacat, juga amat berbakti pada Ibu tua
yang telah membesarkannya. Suatu hari yang saya saksikan sendiri pemandangan
yang mengharukan, anak ini yang telah menjadi guru di sekolah, terpilih
mendapatkan piagam “10 anak berbakti”, begitu pulang rumah dia langsung
berlutut dihadapan Ibu tua, sambil menyerahkan piagam kepada Ibu tua, anak itu
berkata : “Semua ini adalah pemberian mu, hari ini saya mendapatkan piala ini juga
adalah berkat dirimu, masih ada hadiah tunai, harus kuserahkan padamu”. Inilah
praktisi Nian Fo sejati yang melafal keluar kebesaran jiwa yang suci! Baik dengan
bersukacita maupun dengan keluhan, kehidupan ini juga harus dilalui. Bagaimana
pilihan kita tergantung pada berkah dan kebijaksanaan masing-masing.
Suami Ibu tua juga mulai menua dan
menderita penyakit. Ketika sakit dia dirawat ibu tua dan anaknya, ibu tua juga
tak mengeluh merawat seorang “petualang” , juga
tidak meminta pamrih. Ibu tua berkata : “Saya dan kerisauan pikiran tak
terhubung”.
Suaminya meninggal dalam usia 70
lebih, sebelum ajal, dia berkata pada Ibu tua : “ Seumur hidupku saya telah
berbuat kesalahan, saya sungguh bersalah padamu”. Ibu tua tersenyum dengan hati
yang seimbang berkata : “Ah! Kenapa bilang begitu?”. Hati Ibu tua amat lapang, tiada
merasa tidak adil dan tidak ikhlas, tiada keluhan dan kebencian, dengan hati
yang seimbang dia menerima penyesalan suaminya.
Inilah praktisi Nian-fo sejati, yang dapat
melafal keluar maitri karuna, tiada keluhan tiada kerisauan! Suaminya sempat
bertobat di depan Rupang Buddha Amitabha, mengakui semua kesalahannya, memohon
pengampunan dari Buddha Amitabha dan menjemputnya ke Alam Sukhavati, di saat
itulah ketika hanya beberapa menit dia melafal Amituofo, dia menghembuskan
nafas terakhir.
Buddha sangat memahami kita yang sering berbuat
kesalahan, namun dengan maha welas asih menjemput dan takkan melepaskan diri
kita.
Maha maitri maha karuna Buddha Amitabha selalu
memahami akan diri kita yang sepanjang hidup senantiasa berbuat kesalahan. Buddha
memberikan kesempatan terakhir pada kita andaikata saat menjelang ajal mau
bertobat dan bertekad lahir ke Alam Sukhavati, walau hanya sampai sepuluh kali
lafalan Amituofo, Buddha Amitabha juga takkan melepaskan dan akan tetap
menjemput kita ke Alam Sukhavati; hanya saja takutnya kita tidak sudi
mengendalikan perasaan dan tabiat, selalu merasa diri ini yang paling benar,
tidak sudi bertobat memperbaiki kesalahan dan melafal Amituofo.
Dikutip
dari ceramah Master Dao-zheng : “Teratai
Mustika Yang Cacat”.