Hati Awam Adalah Hati Buddha
Ada seorang sahabat Dharma yang
menderita kanker stadium akhir, dia sudah banyak bersumbangsih dalam
organisasi, juga rajin mempelajari ajaran Buddha, para sahabat Dharma lainnya
sangat simpati dan berharap agar dia dapat terlahir ke Alam Sukhavati tanpa
rintangan, maka itu mereka bergiliran siang malam menemaninya melafal Amituofo.
Sahabat Dharma ini memiliki
seorang anak yang sedang berada di luar negeri. Karena mengetahui penyakitnya
sudah darurat, dia ingin sekali bertemu anaknya. Sesungguhnya dengan pengalaman
nya dalam mempelajari ajaran, dia juga tahu bahwa anak dan cucu memiliki berkah
tersendiri, tak perlu dirisaukan. Dia selalu mendengar ceramah Dharma, mengerti
bahwa menjelang ajal harus merelakan kerinduan pada putra putrinya, menfokuskan
diri melafal Amituofo, namun dia tidak dapat menahan diri, merindukan putranya,
menangis dalam kesedihan yang mendalam.
Para sahabat Dharma lainnya
khawatir jika dia akan kehilangan pikiran benar saat ajal, sehingga
menyia-nyiakan masalah terbesar dalam hidupnya, sehingga buru-buru
menasehatinya untuk “merelakan anaknya yang berada di luar negeri”, bahkan ada
yang terlalu peduli padanya sehingga berkata : “Ini sudah waktu apa? Cepatlah
melafal Amituofo, jangan lagi memikirkan anakmu! Cepat merelakan semuanya
termasuk anakmu!”
Ucapan ini memang benar adanya
karena saat ajal jika pikiran sesat sesaat saja, maka harus bertumimbal lahir
lagi! Maka kita tidak bisa menyalahkan sahabat Dharma yang menasehatinya dengan
cemas, namun dengan kondisi nya pada saat itu, ucapan ini justru membuatnya
lebih tertekan, sehingga dia membuat perlawanan! Inilah ketidakberdayaan
manusia. Perasaan nya bergejolak terus sampai-sampai tidak ingin lagi mendengar
orang membantunya melafal Amituofo, sehingga mengusir sahabat Dharma yang ingin
menemaninya melafal Amituofo.
Sesungguhnya, apakah ada
manfaatnya dengan bertindak demikian? Hanya karena tidak ada yang memahami
perasaannya! Baginya suara lafalan Amituofo dari teman-teman nya adalah sedang “menyalahkan”
dirinya, bukan suara maitri karuna.
Pada saat itu, teman-teman nya
yang sedang dilanda kecemasan segera datang mencari saya. Cinta duniawi sungguh
membuat manusia tak berdaya, justru karena penderitaan dari kejatuhan ini
barulah mengerti akan “Buddha Amitabha tak mengeluh akan kekurangan diriku,
maitri karuna Nya yang pasti harus menyelamatkan diriku”. Sungguh kita harus
berterimakasih pada Nya.
Saya hanyalah seorang praktisi
awam karena itu saya tidak merasa aneh pada masalah ini, hanya saja merasa ini
adalah ketidakberdayaan manusia pada rasa cinta. Namun kita tetap harus
bersukacita karena dalam cinta tersebut, “hati Buddha” tidak kehilangan, hanya
karena tersembunyi maka tak muncul.
Kalimat “hati awam adalah hati
Buddha” memberiku petunjuk untuk menyelesaikan masalah ini.
Saya turut peduli pada anaknya
yang berada di kejauhan, kemudian berkata padanya : “Dari kasih sayangmu pada
anakmu, maka saya dapat mengetahui anda adalah seorang ayah yang penuh welas
asih, dengan kondisi anda ini tentunya
dapat memahami hati Ayahanda Buddha Amitabha yang sangat merindukan kita!
Mendengar ucapan ini dia jadi diam sejenak dan airmata nya mulai mengalir,
dalam sekejab hatinya kembali pada “Amituofo”.
Gelembung air dan lautan luas
tidaklah terpisah, hati awam dan hati Buddha juga tak terpisah. Dalam Amitayur-dhyana
Sutra tertera : “Jarak Buddha Amitabha dari sini tidaklah jauh”. Hati awam
adalah hati Buddha. Dari hati awam yang merindukan anaknya, sesungguhnya dari
sebersit niat tersebut, dapat melompat pada maha maitri maha karuna Nya Buddha
Amitabha, maka sebersit niat ini telah berada pada “Buddha”, sebersit niat
pikiran ini pula telah menyatukan si gelembung air ke dalam lautan luas! Master
Ou-yi berkata : “Walaupun saya jatuh dalam kebingungan, asalkan sebersit
pikiran tersadarkan, maka pasti dapat terlahir ke Alam Sukhavati”.
Tentu saja masalah ajal adalah
hal yang mencemaskan, namun nada bicara tidak boleh terlalu mendesak, tak perlu
baru berkunjung sudah terburu-buru berkata : “Anda harus lekas merelakan
semuanya! Cepatlah lahir ke Alam Sukhavati!”
Pada umumnya setiap insan memang
begitu, semakin anda mendesaknya, maka dia akan semakin tegang. Seperti dongeng
masa kecil yang mengisahkan : Angin dan mentari sedang berlomba siapa yang
paling cepat memaksa si pejalan kaki melepaskan jaketnya? Pertama si angin
berusaha keras meniupi jaket si pejalan kaki, namun karena angin yang berhembus
semakin lama makin dingin, si pejalan kaki semakin merapatkan jaketnya,
bagaimana pun usaha angin tetaplah sia-sia. Sedangkan mentari yang dengan
santai hanya memancarkan sebersit sinar, pejalan kaki langsung merasa hangat
dan melepaskan jaketnya.
Dalam keseharian hanya sebuah hal
sepele saja kita tidak mampu merelakan, bagaimana mungkin bisa menyuruh orang
lain melepaskan segalanya langsung di saat ajalnya!
Kondisi seseorang saat menjelang
ajal adalah sulit, sungguh tidak mudah, maka itu waktu memberi nasehat atau
anjuran, sikap dan nada bicara harus disesuaikan, harus membandingkan dengan diri
sendiri, jangan tergesa-gesa. Jangan menganggap diri sendiri adalah “guru
sesepuh”, sekali berkunjung maka beres semuanya, mengajari orang, mengucapkan
kalimat yang diri sendiri saja tidak mampu mengamalkannya.
Dikutip dari buku “Buddha Hendak Menyelamatkan Dirimu”karya
Master Dao-zheng