Bara api berubah menjadi teratai
merah (bagian 3)
Walau hanya dengan satu kaki, juga
harus melakukan namaskara sampai ke atas gunung untuk berterimakasih pada budi
Buddha, melimpahkan jasa kebajikan pada pasien lainnya.
Untuk berterimakasih pada maitri karuna dan budi Buddha Amitabha, saya mengadakan janji
dengannya untuk melakukan namaskara sampai ke atas gunung, maka dia pun semakin
tekun berlatih. Tidak memakai tongkat bagaimana bisa bernamaskara sampai ke
atas gunung? Yakni dengan bernamaskara terlebih dulu, kemudian bangun dan
berdiri, setelah itu dengan satu kaki dia melompat ke depan, lalu melakukan
namaskara lagi. Kami tertawa bersama sambil berkata : “Kita berdua walaupun
jadi tidak kuat berdiri sehingga bergoyang-goyang, namun juga bisa menikmati
goyangan kebahagiaan dalam pangkuan Buddha Amitabha, walaupun sampai kejatuhan,
juga akan jatuh ke dalam pangkuan Buddha Amitabha, dapat jatuh ke dalam Alam
Sukhavati, ini merupakan hal yang bahagia, melakukan namaskara di gunung bila
terjatuh, juga akan jatuh ke tanah suci Buddha Amitabha, ibarat anak kecil yang
memanjakan dirinya di pelukan bunda, asalkan memiliki keyakinan dan rasa
syukur, sesulit apapun perjalanan yang akan dilalui, juga akan menjadi indah
dan manis”.
Selesai berkata demikian, kami melanjutkan
namaskara hingga ke atas gunung, dia tidak menopang pada tongkatnya, dia hanya
menggunakan satu kakinya melakukan namaskara, juga dengan satu kaki dia berdiri
kembali, kemudian dengan satu kaki dia melompat selangkah ke depan, kemudian
melakukan namaskara lagi, dia bernamaskara dengan sangat bersukacita, namun karena
rute gunung semakin meninggi, ada sebagian jalan yang agak curam, dan tidak
rata, dengan menggunakan satu kaki melompat ke depan sungguh merupakan hal yang
sulit, sehingga kemudian dia terjatuh! Para Bodhisattva lainnya yang melihat
dia begitu berusaha keras, begitu tulus, sejak tadi airmata telah membanjiri
wajah masing-masing! Master Dao-xiang
melihatnya terjatuh, segera menghampirinya, mengangkatnya berdiri, dia semakin
tegar dan gigih, bersukacita melanjutkan namaskara hingga ke puncak gunung. Kemudian
dia melimpahkan jasa kebajikan dari bernamaskara ini kepada semua makhluk agar
terbebas dari penderitaan dan mendapatkan kebahagiaan, juga melimpahkan jasa
kebajikan ini kepada para pasien kanker, agar juga memperoleh kekuatan
kegigihan, ketabahan dan kebahagiaan!
Bersabar melewati jalanan
berliku-liku
Menggunakan satu kaki melangkah di
jalan peduli pada insan lain.
Wang Xue-qin memiliki 2 orang anak, yang satu putra dan satunya lagi putri, baru
duduk di bangku sekolah dasar. Suatu hari, dia pergi ke sekolah anaknya untuk
mengikuti sebuah acara, teman anaknya menertawai dirinya juga mengejek anaknya
: “Hahaha, mamamu pincang!” Anaknya jadi begitu sedih, pulang ke rumah
kesedihan berubah menjadi emosi, agar mamanya lain kali jangan ke sekolahnya
lagi sehingga menyebabkan dia kehilangan muka. Siksaan ini juga bisa dia
lampaui dengan melafal Amituofo. Setelah mengetahui hal ini saya memotivasi
anaknya dengan berkata : “Mamamu adalah seorang Bodhisattva, walaupun dia
kehilangan satu kakinya, namun dia menjalani jalan yang baik dengan menggunakan
sebelah kakinya serta kegigihan memotivasi pasien lain, mamamu lebih mulia bila
dibandingkan dengan orang sehat yang memiliki dua kaki namun tidak
memanfaatkannya dengan baik, kamu harus menghargai mama yang begitu mulia, dia
menopang pada tongkat untuk membesarkan dirimu, sampai ke sekolah untuk memberi
perhatian pada dirimu, dia lebih layak dihormati daripada banyak bunda yang
tidak bertanggungjawab pada anaknya. Lain kali bila mama ke sekolah, kamu boleh
amat berbangga hati memperkenalkan beliau pada teman-teman sekolahmu : ini adalah mama saya yang penuh kegigihan,
kemuliaan, dan welas asih. Kamu tak perlu merasa minder karena mama kehilangan
satu kakinya!”
Keyakinan
yang bijaksana
Pernah ada yang menertawainya dan berkata : “Buddha
kalian mana ada memberkati mu, jika tidak, mana mungkin kamu akan pincang?” Dia
menjawab :”Buddha paling maitri karuna, walaupun kondisi diriku adalah akibat
karma buruk yang pernah saya perbuat sehingga pincang, namun Buddha masih sudi
menerima diriku, menyambutku dan memberkati ku”.
Sanak keluarga yang patut
dihormati---22 kali pembedahan, masih tetap tulus dan bersabar.
Dia juga memberitahukan padaku, dia sangat
berterimakasih pada mertua dan suaminya, tidak menolak seorang menantu yang
pincang, malah lebih menjaga dirinya. Saya pernah melihat beberapa keluarga,
karena kelamaan merawat pasien yang sakit, maka timbul kejenuhan, maka itu saya
sangat menghormati keluarganya, dapat memiliki kesabaran dalam memperlakukan
seseorang yang telah menjalani pembedahan sebanyak 22 kali, dengan tulus dan
kasih sayang. Jika anda pernah menunggui orang yang anda sayangi di depan kamar
bedah, maka dapat memahami perasaan gelisah tersebut, menanti keputusan dari
dokter, serta menghadapi ketakutan berpisah dengan orang yang disayangi, sungguh
perih sekali!
Menenangkan diri, menerima dengan ikhlas, memiliki kebijaksanaan.
Terutama
suaminya yang patut dihormati, setelah istrinya harus menjalani pembedahan 20
kali, namun dia tidak mengeluh atau menyalahkan orang lain, hanya berkata pada
istrinya : “Mungkin pada kehidupan lampau kita melakukan kejahatan
bersama-sama, kamu adalah otak pelakunya dan saya adalah pembantunya, maka
kelahiran ini kamu yang menjalani siksaan pembedahan, saya merasakan
siksaan ketakutan dan kekhawatiran”.
Walaupun hanya ucapan singkat ini, namun ucapan yang begitu yakin pada hukum
karma, juga mengandung pertobatan yang mengakui sejak masa lampau hingga hari
ini tentunya banyak kesalahan yang pernah diperbuat.
Tidak seperti
sebagian banyak orang yang ketika bertemu kesulitan pasti merasa “diriku sudah
begitu bajik, mengapa bisa begitu sial? Tuhan tidak memberkatiku, Buddha tidak
melindungiku”, mengeluh dan menyalahkan orang lain, seharian tak berhenti
memikirkan kerisauannya. Jika ingin mengetahui sebab masa lampau, lihatlah apa
yang dialami pada kelahiran sekarang; jika ingin mengetahui kondisi kita pada
kelahiran mendatang, maka lihatlah apa yang kita perbuat pada masa kini. Suaminya
dapat berpikir demikian, maka dapat menerimanya dengan sukacita, dapat
menenangkan dirinya, dengan ikhlas menerimanya, inilah yang disebut “memiliki
kebijaksanaan”.
Lautan
tumimbal lahir, ketika tiada yang dapat diandalkan,
hanya
Buddha Amitabha tempat kita berlindung.
Terutama setelah mereka meyakini ajaran Buddha,
setiap menghadapi detik-detik pembedahan, maka lebih mentuluskan hati melafal
Amituofo, atau saat terapung di lautan yang sangat luas, barulah menyadari
tiada tempat untuk berlabuh atau yang bisa diandalkan, hanya Amituofo sebagai
tempat berlindung, dengan demikian cahaya di hati baru akan menyala cemerlang. Suaminya
juga dengan tulus mengatakan bahwa : “Ini semua adalah berkat perlindungan dari
para Buddha dan Bodhisattva”, dia pernah dua kali melafal Amituofo di depan
kamar bedah dan mendapatkan mujizat.
Dikutip dari Ceramah Master Dao-zheng :
Kelompok Gangster Berubah Menjadi
Pesamuan Kolam Teratai