Bara api berubah menjadi teratai
merah (bagian 2)
Meredakan ketidakseimbangan
dan amarah
Seniorku Wang Xue-qin ketika melakukan terapi
pemulihan berpapasan dengan Master Guang-qin dan kemudian mendengar
wejangannya, juga melihat sendiri Master yang dalam kondisi sakit, namun tetap
“ tidak ikhlas melihat makhluk lain menderita, tidak rela melihat Buddha Dharma
memudar”, senantiasa bersumbangsih, tekun melafal Amituofo dan membabarkan
Dharma. Maitri karuna Master, keyakinan dan tekad yang diwujudkan dalam
tindakan nyata, lebih memiliki kekuatan yang membuatnya tergugah daripada
sejumlah bahasa teori, barulah dia berusaha untuk meredakan amarahnya sehingga
dapat menyeimbangkan dan menenangkan batinnya.
Berusaha untuk bangkit kembali, mengalihkan pikiran untuk menanam bunga
teratai.
Dia berusaha bangkit dari tempat tidurnya, duduk di
atas kursi roda, kemudian berusaha bangkit dari kursi roda lagi, dengan
menopang pada tongkat dia berusaha berdiri dan berjalan keluar, kemudian
melakukan apa yang merupakan kewajiban seorang ibu rumah tangga, bahkan dia
dapat merawat mertuanya yang sedang sakit-sakitan dan ibundanya sendiri. Ketika
pertama kali dia ke pasar membeli sayur, dimana dia harus menggunakan usaha
yang begitu keras, namun malah mendapat tawa ejek dari orang lain, pertama kali
dia ditertawakan orang, dia tidak dapat menahannya dan kemudian menangis sambil
berjalan pulang ke rumah!
Namun sungguh terpuji, dia takkan berhenti untuk
memikirkan kesedihan dan airmatanya, dia memberanikan dirinya untuk bangkit,
untuk menghadapi lagi cahaya dan berjuang kembali, pergi keluar lagi! Ketika
pandangan dan ucapan orang lain melukai hatinya, maka dia segera mengalihkan
pikirannya untuk menanam sekuntum bunga teratai, dia takkan bersedih hati lagi
pada tusukan duri. Kebijaksanaan nya muncul di tengah cobaan yang menerpanya, dia
memanfaatkan setiap kondisi yang sulit ditoleransi insan lain, untuk bertobat, dan
juga menasehati orang lain untuk berbuat baik dan melafal Amituofo.
Menuruti kesempatan untuk memberi
nasehat, menuruti jodoh untuk bertobat
Pernah suatu kali ketika dia berbelanja ke pasar,
dia bertemu lagi dengan adik kecil, yang bertanya kepadanya :”Tante, mengapa
kakinya hilang sebelah?” Dia menggunakan kesempatan ini untuk menasehati adik
kecil itu : “Ini dikarenakan saya terlalu banyak berbuat jahat, makanya ketika
karma berbuah saya harus kehilangan satu kaki, makanya adik kecil, ingatlah
selalu jangan berbuat kejahatan, berbaktilah pada ayahbundamu dan rajinlah
sekolah”. Dia juga menasehati adik kecil untuk melafal “Amituofo”.
Petunjuk dari kelabang---bukankah ini
serupa dengan diriku?
Ternyata sebelumnya ada yang pernah mendengar bahwa
makan lipan (kelabang) bisa menyembuhkan kanker, maka menganjurkan dia untuk
mencobanya, agar bisa meringankan penyakitnya. Kita tahu bahwa bila meramu
lipan ke dalam obat-obatan tentunya dengan menggunting kaki-kakinya terlebih
dulu. Suatu hari dia menatap lipan yang sudah tak berkaki, dia sangat terharu
dan perasaannya bergejolak: “Bukankah ini serupa dengan diriku? Satu kaki dioperasi
belasan kali, akhirnya juga harus diamputasi”. Penderitaan lipan serupa dengan
yang dialaminya, penderitaannya juga adalah penderitaan lipan. Kita jangan
meremehkan nyawa hewan kecil lainnya menganggapnya kecil dan tak bernilai,
mereka sama dengan kita yang memiliki tulang daging dan kulit, maka itu pepatah kuno mengatakan
:
JJangan mengira nyawa
makhluk lain kecil
serupa tulang daging
serupa kulit
menasehati anda jangan
memukul burung di ranting
anak di sarang sedang
menunggu kepulangan sang ibu.
Syair ini menasehati kita untuk tidak menembak
burung kecil yang di atas ranting pohon, karena burung kecil juga mempunyai
anak yang sedang menanti kepulangannya.........Setelah Wang Xue-qin merenungkan
secara mendalam, dia juga tidak sanggup meminum ramuan obat tersebut, dia
memilih bersukacita dan ikhlas membayar hutang-hutangnya, menerima penderitaan,
namun tetap tak sudi menyakiti lipan tersebut, karena buah akibat pasti akan
kembali menimpa diri sendiri. Dan kenyataannya, andaikata dia bersedia minum
ramuan lipan tersebut, atau makan daging lainnya, juga takkan menjamin dia
bebas dari segala penyakit, atau berusia panjang, buat apa dalam perjalanan
tumimbal lahir ini harus saling mencelakai!
Menopang pada tongkat, menahan kesakitan memberi motivasi kepada pasien
lain.
Setelah
melalui berbagai cobaan dan rintangan, rasa iba yang muncul secara tak
terduga ini, sehingga dia dengan menopang pada sebatang tongkat, menahan
kesakitan pada rongga dada karena menjalani operasi paru-paru, dan detak
jantung yang cepat, namun dengan semangatnya yang menggebu-gebu, berjalan
mengunjungi pasien yang senasib dengannya, dengan pengalamannya dia memberi
motivasi pada mereka. Bahkan dia juga memasak makanan ringan untuk disajikan
kepada para pasien, menasehati mereka untuk membangkitkan keyakinan dan
kegigihan untuk melafal Amituofo, menembusi semua kesulitan.
Terkadang suster di rumah sakit merasa kesulitan
ketika menghadapi pasien yang terlalu tersiksa dan ketakutan, serta tidak bisa
bekerjasama, maka suster akan mengundang Wang Xue-qin untuk membantu. Pernah
suatu kali ketika dia sedang memotivasi seorang pasien yang takut sakit setelah
menjalani pembedahan, dan pasien ini tak sudi
turun dari ranjang untuk berolahraga, dia pun segera mengambil tongkatnya dan
menuju rumah sakit, begitu melihatnya pasien itu berkata : “Sungguh kasihan,
sudah pincang masih bisa berjalan!” Mendengar ucapan ini dia diam sejenak,
kemudian dengan bijak dia menjawab : “Sungguh kasihan, punya kaki namun tak mau
berjalan!” Kemudian dengan sabar dia memotivasi pasien itu agar
mau berolahraga, pasien tersebut melihat bahwa ada orang lain yang lebih menderita
daripada dirinya, namun masih berwelas asih dan memotivasi
dirinya, karena itu timbul rasa malu sehingga mulai bergerak dan berolahraga.
Memang benar banyak orang yang seperti perkataannya
“walaupun mempunyai kaki namun tak ingin berjalan”, juga banyak insan yang “walau memiliki kaki,
namun tidak menjalani kehidupan dengan baik”, mereka ini sungguh kasihan!
Menopang pada tongkat pergi mendengar ceramah,
walau hanya tinggal satu kaki juga harus melangkah di Jalan KeBuddhaan
Memotivasi insan kurang sempurna untuk
bernamaskara pada Buddha
Dia tidak hanya menopang tongkat untuk membantu
orang lain, juga pergi mendengar ceramah, dengan satu kakinya dia masih bisa
bekerja di rumah untuk menghasilkan sedikit uang, kemudian dengan uang tersebut dia
memperbanyak kaset ceramah Dharma untuk dibagikan kepada orang lain. Dan yang
perlu dipuji adalah dia bisa berpikir : “Apakah hanya dengan satu kaki maka
saya tidak bisa melakukan namaskara pada Buddha? Saya tidak percaya! Saya harus
melatihnya!” Langkah pertama yang dilakukannya adalah menggunakan kesempatan di
malam hari ketika semua orang telah tidur, kemudian bangun diam-diam dan
menopang pada tongkatnya dia melakukan namaskara pada Buddha, hanya tiga kali
dia sudah sangat kelelahan, kepalanya pusing sampai tak kuat berdiri lagi, namun dia tetap melanjutkan usahanya itu
setiap hari.
Akhirnya suaminya yang welas asih, setiap hari
menemaninya berlatih, setiap hari memperpanjang waktu untuk bernamaskara pada
Buddha. Ketika saya melihatnya melepaskan tongkatnya dan dengan mantap berdiri
diatas satu kakinya, beranjali dan kemudian berlutut, kemudian perlahan
melakukan namaskara, saya tidak sanggup menahan rasa sukacita yang mengalir
dari dalam sanubariku, mengkaguminya, memujinya, dan airmata yang
bercampur dengan beragam perasaan.........
Dikutip dari Ceramah Master Dao-zheng :
Kelompok Gangster Berubah Menjadi
Pesamuan Kolam Teratai